Nggak bisa dipungkiri perkembangan media sosial sekarang sangat pesat. Mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, Youtube (emang media sosial?) dan lain lain. Seiring perkembangan itu, tentunya ada imbas baik dan buruknya. Salah satu imbas buruknya adalah privasi yang nggak privasi lagi (hah? Lu nulis yang jelas dong)
Dulu kalo mau tau isi dalam rumah orang ya harus datang langsung bertamu (lagian ngapain juga bertamu buat tau isi rumah doang. Kepo amat dah Lu). Sekarang eh orangnya sendiri udah upload upload foto atau video rumahnya, dijelasin yang tinggal di sana berapa orang, hubungan orang orang tersebut apa, kapan mau liburan ke luar kota, kalo liburan ada orang di rumah apa enggak, cctvnya di mana aja, dan lain lain (Udah kayak ngasih kisi kisi buat maling)
Sampe yang paling privasi lagi, isi dalam kepala (termasuk postingan ini). Dulu kalo denger berita soal sesuatu, terus ngomen, yang denger paling diri sendiri. Atau kalo ngomennya di depan tv sambil nonton bareng keluarga, ya cuma sampe di keluarga. Atau kalo ngomennya sambil baca pancasila hari Senin di sekolahan, ya paling sampe orang di sekolahan aja, paling jauh keluarga guru. Atau kalo komennya pas pidato kepresidenan (Terus bang teruuus..)
Tapi sekarang, isi dalam kepala udah diumbar secara publik, dan semua orang bisa tau (Kalo nggak di privat). Nah, dari yang awalnya cuma umbar pemikiran di akun sendiri, timbul lah hasrat untuk mengomentari pemikiran dan perbuatan orang lain.
Ada 3 penyakit terkait orang yang suka ngomen (menurut saya):
1. Merasa semua hal butuh dikomentari
2. Merasa semua orang ingin dan butuh mendengarkan komentarnya
3. Merasa pendapatnya paling benar.
Kalaulah bentuknya nasehat, dan memang perbuatan tersebut adalah salah, nggak masalah. Karena memang dianjurkan juga untuk saling menasehati. Tapi sekarang semua hal bisa menjadi sasaran komentar, bahkan hal hal yang seharusnya tidak butuh komentar.
Contoh kecil, ada orang menyatakan hanya ingin punya anak 2 saja dan mau KB sekarang, dan menyebutkan alasannya. Muncullah orang orang di atas. Mulai dari yang menyatakan tidak bersyukur sudah diberi rahim yang subur, playing victim membandingkan dengan diri sendiri yang sudah 200 tahun menikah belum diberi kepercayaan oleh Tuhan, dan lain lain. Padahal ingin punya anak berapa tentu urusan suami istri saja (dan mertua)
Intinya apa? Gatau juga, kebanyakan nulis sampe lupa intinya hehe. Tapi, tadi nemu video masak ini, dan harus banget ditonton (kalo mau. Kalo enggak ya jangan)
Ciao